Rabu, 28 April 2010

KEBESARAN ISLAM

السلام عليكم . بِسْــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم.لا إله إلاَّ الله.محمد رسو ل الله
الحمد لله رب العا لمين. الصلاة و السلام على رسو ل الله.اما بعد

Qs.5 Maa'idah:97. Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat bagi manusia.

Astronout Neil Amstrong telah membuktikan bahwa kota Mekah adalah pusat dari Planet Bumi. Fakta ini telah di diteliti melalui sebuah penelitian Ilmiah.

Ketika Neil Amstrong untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mengambil gambar planet Bumi, dia berkata : “Planet Bumi ternyata menggantung di area yang sangat gelap, siapa yang menggantungnya ???”

Para Astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi, secara resmi mereka mengumumkannya di Internet, tetapi sayang nya 21 hari kemudian website tersebut raib yang sepertinya ada masalah tersembunyi dibalik penghapusan website tersebut.

Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata radiasi tersebut berpusat di kota Mekah, tepatnya berasal dari Ka’Bah. Yang mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite ( tidak berujung ), hal ini terbuktikan ketika mereka mengambil foto planet Mars, radiasi tersebut masih berlanjut terus.

Para peneliti Muslim mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka’Bah di di planet Bumi dengan Ka’bah di alam akhirat.

Di tengah-tengah antara kutub utara dan kutub selatan, ada suatu area yang bernama ‘Zero Magnetism Area’, artinya adalah apabila kita mengeluarkan kompas di area tersebut, maka jarum kompas tersebut tidak akan bergerak sama sekali karena daya tarik yang sama besarnya antara kedua kutub.

Itulah sebabnya kenapa jika seseorang tinggal di Mekah, maka ia akan hidup lebih lama, lebih sehat, dan tidak banyak dipengaruhi oleh banyak kekuatan gravitasi. Oleh sebab itu lah ketika kita mengelilingi Ka’Bah, maka seakan-akan diri kita di charged ulang oleh suatu energi misterius dan ini adalah fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah.

Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa batu Hajar Aswad merupakan batu tertua di dunia dan juga bisa mengambang di air. Di sebuah musium di negara Inggris, ada tiga buah potongan batu tersebut ( dari Ka’Bah ) dan pihak musium juga mengatakan bahwa bongkahan batu-batu tersebut bukan berasal dari sistem tata surya kita.

Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW bersabda, “Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, warnanya lebih putih daripada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adamlah yang menjadikannya hitam. ( Jami al-Tirmidzi al-Hajj (877) “

Radiasi dari Ka'bah ini tak dapat diketahui tanpa pesawat antariksa abad 20, membuktikan jika Qur'an ialah berasal dari ALLAH, & bukti Qur'an mukjizat sepanjang masa. Kerana banyak ayat yang baru dapat dibuktikan oleh peralatan terakhir, zaman terakhir.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. QS. 4 An-Nisaa':82

Jadi,,, 1 lagi BUKTI,,, Islam TERBUKTI BENAR!

puisi - puisi loloan

Ikranagara:
MASKUMAMBANG ROCK CREEK-JOGADING

Aku merasa iri kepada sungai di DC
airnya mengalir dari hulu ke hilir mulai lancar kembali
di musim pohon-pohon di tepian menghijau rimbun kembali
di sepanjang Rock Creek
Alamiah, airmataku tak selancar dulu lagi di usia tuaku ini

Aku merasa iri kepada sungai
airnya mengalir dari hulu ke hilir mulai lancar kembali
di musim pohon-pohon di tepian menghijau rimbun kembali
di sepanjang Rock Creek
Aku malah harus memberikan beberapa tetes airmata
agar mataku yang tua usia ini tetap sehat
sesuai resep Bu Dokter
beberapa kali seharinya harus kupatuhi

Tapi aku memang sedang bersedih
Bukan karena iri kepada singai yang lancar kembali airnya
Bukan pula karena daun-daun pepohonan merimbun kembali
Kesedihanku
sedang mengalir
selancar air mengalir
di Rock Creek itulah

Orang-orang di Washington DC dan sekitar menyebutnya Rock Creek
Aku memberinama Sungai Jogading nama sungai di kota kelahiranku di Bali
Tempat aku dan kawan-kawanku di masa kecil bermain-main
menceburkan diri ke airnya
menimbulkan suara berdebum
gembira
berenang-renang

Jogading pada masa itu sebuah kegembiraan
Juga bagi para nelayan berangkat senja hari
Mengayuh sampan dengan dayungnya
menyeruak muaranya menuju ke laut lepas
ladang para nelayan desa Loloan
turun temurun sejak zaman nenekmoyang
Dan sepanjang malam mereka menangkapi ikan Lemuru
yang merapat ke sampan kecil mereka
karena daya tarik lampu petromak yang mereka pasang

Tapi sekarang Jogading sedang bersedih
Kesedihannya kesediahan para nelayan kecil
Airnya mengalir air mataku
Sejak dibangun pabrik ikan kaleng
kapal-kapal penangkap ikan
merajalela di pantai lepas
menangguk ikan untuk kepentingan produser pabrik bermodal internasional
Ladang ikan pun jadi miliknya
Desa Loloan jadi “desa tertinggal”
Itulah istilah resmi penghalus
Diberikan pemerintah negeriku

Desa Loloan bahkan tak berdaya menolak istilah penghalus itu
Apalagi menentang sistem ekonomi
penanaman modal asing
demi pertumbuhan ekonomi yang memihak kepada pemilik modal
tapi tak memihak kepada rakyat desaku Desa Loloan

Minggu, 25 April 2010


“…orang-orang Bugis/Makassar tersebut pertama kali memperkenalkan ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat Jembrana yang beragama Hindu Bali. Seiring dengan waktu, maka semakin kuat persatuan di antara kedua belah pihak, muslim dan warga asli Bali yang beragama Hindu. Bahkan, tercatat, ada juga seorang anggota keluarga I Gusti Ngurah Pancoran yang memasuki agama Islam. Menyusul kemudian beberapa penduduk dan wanita….” (I Wayan Reken dalam “Sejarah Perkembangan Islam di Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana”, hal.5 tahun 1979).

Rumah-rumah pada perkampungan itu tak memiliki pura, seperti halnya kebanyakan rumah di Bali. Justru, rumah-rumah itu merupakan rumah panggung, ciri khas perumahan orang Melayu.

Kampung Loloan memang merupakan sebuah perkampungan Melayu, yang dihuni suku Melayu dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar pergaulan keseharian—walaupun kampung itu berada di Bali.

Penduduk kampung itu merupakan keturunan para penyebar Islam permulaan di Bali. Unik memang, di Bali yang terkenal dengan Hindhu-nya justru dijumpai sekelompok masyarakat yang konsisten menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari.

Tak hanya itu, pakaian, bentuk rumah dan tata cara adat pun masih merujuk pada akar budaya Melayu. Jumlah penduduk Melayu muslim di Loloan—yang terdiri dari dua kecamatan: Loloan Timur dan Loloan Barat—saat ini sekitar 13.000 orang, dari sekitar 42.000 muslim yang tinggal di Kabupaten Jembrana.
Menurut H. Mustafa Al-Qadri, salah seorang sesepuh Melayu di kampung itu, orang Melayu di Loloan berasal dari beberapa daerah: Bugis, Kalimantan dan Terengganu. Namun yang terbesar berasal dari Bugis. Berdasarkan buku kecil “Sejarah Masuknya Islam di Bali II”, setelah Makassar jatuh ke tangan VOC pada tahun 1667, Belanda menjadikan keturunan Sultan Wajo sebagai lawan yang harus dibasmi. Di bawah tekanan Belanda, serombongan laskar Sultan Wajo, yang dipimpin Daeng Nahkoda melarikan diri dari tanah Sulawesi hingga akhirnya bermukim di suatu tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Bajo. Atas izin I Gusti Ngurah Pancoran yang berkuasa di Jembrana, pelabuhan tempat mereka berlabuh diberi nama Bandar Pancoran—kini bekas pelabuhan lama itu terletak di Loloan Barat.

Sejak kedatangan yang pertama itu, berdatanganlah orang-orang Bugis ke Jembrana dengan menggunakan perahu Pinisi dan perahu Lambo. Selain dari Bugis, dua ratus tahun kemudian, ada pula orang Melayu yang datang dari Pontianak seiring dengan kedatangan Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry dari Pontianak pada abad ke-18 masehi. Dalam rombongan Syarif Abdullah Yahya al-Qadri itu terdapat seorang Melayu asal Terengganu bernama Ya’qub, yang kemudian menikah dengan penduduk Melayu tempatan.

Ya’qub inilah yang disebut-sebut dalam Prasasti Melayu yang disimpan di Masjid Al-Qadim, Loloan. Di pelataran masjid itu pula Ya’qub dimakamkan. Dalam prasasti tersebut tertulis: “Satu Dzulqa’dah 1268 H, hari Itsnin. Encik Ya’qub orang Terengganu mewaqafkan akan barang istrinya serta mewaqafkan dengan segala warisnya yaitu al-Qur’an dan sawah satu tebih (petak) di Mertosari. Perolehannya 40 siba’ (ikat) dalam Masjid Jembrana di Kampung Loloan ketika Pak Mahbubah menjadi penghulu dan Pak Mustika menjadi Perbekel. Saksi: Syarif Abdullah bin Yahya al-Qadri dan Khatib Abdul Hamid.” Menurut salah seorang takmir Masjid Al-Qadim, H. Fathurrahim, masjid itu dibangun pada tahun 1600-an masehi.

Selain catatan tersebut, juga dijumpai informasi sahih tentang ketibaan orang-orang Bugis di Bali di seputar tahun itu. Menurut informasi itu, disebutkan bahwa ulama-ulama dari negeri Kucing dan Serawak—sekarang di Malaysia Timur—juga berdatangan ke Loloan. Setelah mereka, kemudian datang berdakwah Syaykh Ahmad Bawazir dari Yaman. Mereka mengajar agama Islam kepada warga Loloan dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu, sesuai dengan bahasa pengantar di Loloan pada masa itu. Hal inilah yang kemudian membuat bahasa Bugis lambat laun tersisih, hingga akhirnya hanya bahasa Melayu yang digunakan di Loloan.
Eksistensi budaya Melayu di Bali itu bertambah kuat dan bertambah kokoh setelah generasi-generasi muda Loloan mulai dikirim belajar hingga ke Mekkah. Bahkan, di antara mereka ada yang berkhidmat di Mekkah hingga 30 tahun, seperti H. Agus Salam, H. Muhammad Said dan H.M. Asad yang sempat mondok di sekitar Masjid al-Haram sebelum Wahabi masuk ke Arab. Sepulang dari jazirah Arab, mereka kemudian membangun pesantren-pesantren di Loloan.

Masyarakat Melayu Islam di Loloan pada masa itu sangat diterima oleh penguasa Bali—bahkan tidak berlebihan jika disebut “sangat akrab”. Hal itu tidak terlepas dari kesediaan para muslim warga Jembrana untuk ikut memperkuat armada kerajaan-kerajaan Hindu Bali di sana. Setiap kali ada serangan dari kerajaan lain, warga Jembrana dari kalangan muslim turut membantu. “Sebagai imbalannya, mereka diberikan hadiah tanah seluas 200 hektare sebagai pemukiman khas bagi orang Melayu,” jelas H. Ahmad Damanhuri, sesepuh Melayu Loloan. Saat itu pula, dibuat sebuah konvensi tak tertulis tentang penggunaan bahasa: bahasa Bali digunakan dari daerah Air Kuning ke arah timur; sedangkan bahasa Melayu digunakan mulai dari Jembrana hingga ke daerah Melaya. Walaupun demikian, dalam kenyataannya tak sekaku konvensi itu.

Kini, setelah 500 tahun berselang, ada juga unsur bahasa Bali yang terserap dalam kosakata Melayu yang dipergunakan oleh masyarakat Loloan. Oleh karena itu, tak salah jika mereka menyebut dirinya sebagai Melayu Bali. Seperti halnya, orang Melayu kebanyakan, Melayu Bali di Loloan juga gemar berpantun. Namun, sepertinya hanya generasi tua saja yang masih piawai melafazkannya.

Dari segi arsitektur bangunan, kesan Bugis juga sangat tampak dalam desain bangunan rumah-rumah asli masyarakat Melayu Loloan, terutama di daerah sekitar Masjid Al-Qadim. Juga, simbol keislaman seperti tulisan Allah dan Muhammad pada dinding rumah-rumah itu. Simbol inilah yang membuat Loloan tampak seperti bukan di Bali yang terkenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura itu